
Kisruh RUU TNI Yang Membuat Heboh Indonesia
Kisruh RUU TNI Yang Membuat Heboh Indonesia

Kisruh RUU TNI Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) Yang Sekarang Ini Terjadi Bahkan Telah Di Resmikan Oleh DPR. Perubahan ini menyoroti sejumlah pasal yang di nilai krusial dan menciptakan ketakutan. Kekawatiran ini sangat di rasakan baik di kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis hak asasi manusia. Perubahan pada Pasal 7 memberi dua tugas baru dalam OMSP, yakni proteksi terhadap serangan siber dan perlindungan warga negara Indonesia. Serta kepentingan nasional di luar negeri yang tetap harus di perhatikan. Penambahan ini menaikkan jumlah tugas OMSP dari 14 menjadi 16. Kritikus khawatir bahwa perluasan peran ini bisa membuka akses bagi TNI supaya lebih terlibat dalam urusan sipil. Sangat berpeluang mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil.
Pasal ini meregulasi bahwa prajurit TNI aktif bisa menduduki jabatan sipil di 14 kementerian dan lembaga. Misalnya termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Kemudian juga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung. Sebelumnya, UU TNI meminimalkan penempatan tersebut dan mengharuskan prajurit untuk pensiun atau mengundurkan diri sebelum menduduki jabatan sipil. Perubahan ini menciptakan ketakutan akan kembalinya dwifungsi ABRI. Di mana militer mempunyai peran ganda dalam ranah sipil dan militer. Hal tersebut di nilai bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.
Pengesahan revisi UU TNI menciptakan gelombang protes di sejumlah wilayah, termasuk Yogyakarta dan Jakarta, pada 19–20 Maret 2025. Maka dari itu Mahasiswa, dosen, dan organisasi masyarakat sipil melemparkan penolakan kepada revisi tersebut. Terutama dengan alasan minimnya keterbukaan dalam tahap pembahasan dan peluang ancaman kepada demokrasi serta supremasi sipil. Misalnya di Yogyakarta, demonstran dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII) menginginkan beberapa tuntutan penting. Termasuk pembatalan revisi UU TNI dan Kisruh RUU TNI penolakan terhadap kembalinya dwifungsi militer.
Menilik Kisruh RUU TNI Dari Efek Sosialnya
Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang baru di resmikan sudah menciptakan reaksi luas di masyarakat. Tidak hanya dari kalangan akademisi dan aktivis, namun juga dari kelompok sipil yang merasa terintimidasi oleh perubahan ini. Menilik Kisruh RUU TNI Dari Efek Sosialnya perubahan nyata dalam RUU ini. Terutama mengenai dominasi tugas TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP). Serta di izinkannya prajurit aktif menduduki jabatan sipil, menciptakan ketakutan tentang peluang militerisasi di ranah sipil. Efek sosial dari kisruh ini terbilang kompleks dan melibatkan aspek demokrasi, supremasi sipil, serta kepercayaan masyarakat kepada institusi negara.
Salah satu efek sosial utama dari revisi UU TNI ialah naiknya rasa was-was di masyarakat mengenai keikutsertaan militer dalam sipil. Dalam historis Indonesia, militer pernah mempunyai peran ganda (dwifungsi ABRI). Menyebabkan kekuasaan TNI dalam sejumlah bidang pemerintahan dan mengurangi ruang bagi sipil untuk ikut dalam pengambilan keputusan. Banyak kelompok masyarakat yang takut bahwa revisi ini bisa menjadi langkah mundur untuk demokrasi Indonesia, terutama dalam hal supremasi sipil. Keberadaan prajurit aktif di jabatan sipil di takutkan dapat menimbulkan loyalitas ganda yang berpeluang menghambat netralitas dalam pelayanan masyarakat.
Di sisi lain, kisruh ini juga membuat perpecahan opini di tengah masyarakat. Sebagian pihak, terutama yang membela revisi, beranggapan bahwa keterlibatan TNI dalam urusan sipil bisa menguatkan ketahanan nasional. Terutama dalam menatap ancaman siber dan krisis lainnya. Namun, di kalangan akademisi, mahasiswa, dan aktivis, kebijakan ini di anggap menjadi ancaman terhadap kebebasan sipil. Gelombang protes yang ada di sejumlah daerah mencerminkan bahwa masyarakat sipil merasa kehilangan kontrol atas mekanisme demokrasi. Terutama karena revisi ini di nilai tidak transparan dan minim partisipasi publik.
Bukti Bahwa Pemerintah Tidak Pernah Melibatkan Masyarakat
Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di sahkan pada tahun 2020 dengan sejumlah kontroversi. Proses pembahasannya di anggap tidak terbuka, tergesa-gesa, dan tidak melibatkan masyarakat, terutama kelompok buruh yang berefek langsung. Banyak pasal dalam UU ini justru menguntungkan perusahaan namun merugikan pekerja. Seperti regulasi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih fleksibel dan penghapusan upah minimum sektoral. Protes besar-besaran terjadi di sejumlah kota, tetapi aspirasi publik tetap di kesampingkan.
Pada tahun 2019, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di resmikan dengan cepat tanpa adanya voting publik yang memadai. Banyak pihak, termasuk akademisi, aktivis antikorupsi, dan masyarakat sipil, mencekal revisi ini karena di nilai melemahkan KPK. Salah satu perubahan yang paling terkenal adalah perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini akan berdampak pada hilangnya independensi lembaga tersebut. Revisi Undang-Undang TNI dan Polri yang baru-baru ini di resmikan juga memperlihatkan Bukti Bahwa Pemerintah Tidak Pernah Melibatkan Masyarakat. Pasal-pasal yang memberi perwira aktif TNI memperoleh jabatan sipil memicu kritik luas. Tetapi revisi tetap di teruskan tanpa proses konsultasi publik yang terbuka.
Pembangunan proyek-proyek strategis nasional kerap kali di laksanakan tanpa melihat suara masyarakat lokal. Contoh nyata ialah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang memperoleh banyak penolakan dari masyarakat adat di Kalimantan. Berbagai kasus di atas membuktikan bahwa pemerintah acap kali tidak melibatkan masyarakat dalam tahap merumuskan kebijakan. Kebijakan yang berefek luas kerap kali di buat secara tertutup, tergesa-gesa, dan lebih mengutamakan kepentingan elite politik. Serta lebih mementingkan keinginan pihak tertentu daripada kepentingan rakyat.
Reaksi Pengguna Sosmed Menyuarakan Keraguan Pada Elit Politik
Pengesahan revisi UU TNI pada Maret 2025 menciptakan gelombang protes di media sosial. Tagar semisal #TolakRUUTNI menjadi perbincangan di platform seperti Twitter dan Instagram, menggambarkan penolakan luas dari masyarakat. Pengguna media sosial memprotes keputusan pemerintah dan DPR yang di nilai kurang transparan dan tidak meminta partisipasi publik yang memadai. Banyak pengguna media sosial menyuarakan ketakutan bahwa revisi UU TNI bisa membuka jalan untuk kembalinya dwifungsi ABRI. Di mana militer mempunyai peran dominan dalam urusan sipil.
Sejumlah figur publik juga angkat suara lewat media sosial, mengkritik pengesahan revisi UU TNI dan menanggapi minimnya transparansi. Serta keikutsertaan publik dalam tahap legislasi yang terbilang vital. Musisi Nadin Amizah, contohnya, melontarkan kekecewaannya kepada keputusan tersebut melalui akun media sosialnya, yang selanjutnya mendapat reaksi luas dari pengikutnya. Reaksi pengguna media sosial terhadap sejumlah kebijakan pemerintah, misalnya revisi UU TNI, menggambarkan ketidakpercayaan yang mendalam kepada elit politik.
Media sosial sudah menjadi alat penting untuk masyarakat dalam menyuarakan ketidakpuasan dan menginginkan partisipasi publik dalam tahap pembuatan kebijakan. Reaksi Pengguna Sosmed Menyuarakan Keraguan Pada Elit Politik. Fenomena ini mengindikasikan keharusan pemerintah untuk lebih responsif terhadap aspirasi rakyat. Gelombang kritik dan penolakan ini menjadi alarm bagi pemerintah dan DPR untuk lebih peduli lagi. Meningkatkan keterbukaan, dan memastikan bahwa seluruh kebijakan yang di putuskan sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Demikianlah pemaparan mengenai Kisruh RUU TNI.